Gubahan di Altar Mimpi
Kali ini matahari telah duduk disinggananya. Memberi panas yang dinanti jemuran ibu-ibu, ikan-ikan asin para nelayan dan gabah petani yang belum kering. Tak jarang panasnya menuai cacian para pekerja kantoran dan buruh pabrik yang bekerja ditengah tekanan penguasa. Sejenak berpikir nasib tukang becak yang termangu menanti para pelanggan jasanya. Demi mencari rejeki dan wujudkan sebagian mimpi yang belum terbeli.
Harap kini mendung datang berarak dari utara. Memberi angin sejuk ditengah geliat kota. Redakan bara yang kian membara di jalanan. Meredam darah yang mendidih di atas panggangan. Siapa yang mengerti perihal takdir? Seolah orang dulu berkata mereka yang mati muda ialah yang berbahagia. Ucapan putus asa dari juang yang tak temui arah. Sementara hari terus berjalan dan mati tanpa arti hanya menanti lupa. Barangkali tiada guna hidup di dunia tak membuatku kehilangan asa karena kayuh kereta angin masih semangat memutar roda kehidupan. Meski pertemuan dan perpisahan telah digariskan setidaknya secuil usaha masih berikan makna.
Entah, mungkin manusia disibukan dengan istana ambisi yang ia bangun di pelupuk matanya. Hingga kerakusan merajalela. Jika mau melirik sejenak, mungkin ia akan temui sejuk nan indah. Juang mereka ialah energi bagi siapa yang tergugah. Cambuk untuk jiwa yang sedang renta. Kesadaran bahwa harapan mesti dibangun dan kecewa sudah biasa. Jikalau proklamator mengatakan bermimpi setinggi langit, aku bermimpi sejauh yang kubisa. Menuai sukat hingga resah kembali menikam.
Kekecewaan. Lambang keputus-asaan. Sebagian mereka menjelma dendam mendarah daging yang meluluh-latakan dunia. Tak jarang, karena sekata terucap dapat menimbulkan perang berabad-abad. Jika peradaban selalu diakuisisi oleh para pemenang, bagiku peradaban dimenangkan oleh mereka yang menemui damai. Tiada arti sebuah kemenangan jika ia berdiri diatas penderitaan sesamanya. Hujan kata-kata dan janji-janji mendekati pesta para kera akan segera usai. Tapi, damaiku dipelukanmu tiada pernah temui usai. Aku tak mengatakan itu keabadian, setidaknya hingga menuju rumah liang nan sepi hangatnya tetap mendekap menguatkan langkah untuk menjalani badai salju kehidupan. Senyumu senantiasa sejukan hati dikala gersang paceklik melanda. Menguak segala tirani bernama nafsu angkara. Tumbuhkan mesra cumbu kita dikala senja.
Aku tak mau bermuluk-muluk bercerita tentang demokrasi. Ia hanyalah makanan bagi mereka yang berujar tentang keadilan dan kemakmuran. Aku hanya ingin menelusuri tubuhmu, dikala ranjang reot kita masih sanggup menyangga tubuh kita yang semakin menua. Bercerita tentang anak-anak kita yang tumbuh makin dewasa dan mengingatkanku istirahat dikala ambisi membutakanku. Karena denganmu, kebahagiaan itu dapat menjadi kenyataan.
Meski semu.
Komentar
Posting Komentar