Harum Haru Taman dari Celah Gerimis
Nasib serupa taman bunga. Sejumlah wangi kesunyian menyeruak dan ditengahnya beriak sebuah telaga yang memantulkan rona wajah dengan gurat umur terlukis. Sebelum tertikam kantuk dan melarung mimpi di penghujung hari, seorang berpesan akan cermin yang kian retak. Menjadikan sukma kian samar adanya. Beduyun-duyun menyuapi selaksa peristiwa. Kian kalut mewarnai mimpi anak negeri.
Bukan tak peduli. Telinga ini rasanya tak ingin mendengar gelak tawa para peraga dibalik altar. Sementara kesedihan menggerogoti relung hatinya. Ia telusuri jalan dibentangkan keindahan yang menyelinap diantara kini dan nanti. Menerjang badai agonia, menceburkan diri ke telaga sunyi, menari bersama irama musim dan diiringi mewangi kicau burung sebagai garis sajakNya. Rupanya ia menapaki jalan terjal kehidupan yang dalam. Menyelami palung tanpa dasar, mendaki gunung tanpa puncak. Acap kali orang-orang berkata bahwa hidupnya penuh kesia-siaan.
Bunga-bunga di kebun belakang mulai melakukan kebiasaan sehari-hari. Menulis puisi dan membacakannya di hadapan rumput yang dibelai embun. Menjadikannya serupa tangis akibat kurang dibelai. Pot-pot juga berpidato sama halnya dengan penyair yang dimabukan dengan segelas kopi dan rokok. Berbicara tentang biasnya kenyataan. Menerka mencari sudut ruang untuk berkata, "Ah, aku ingin terbang". Kupu-kupu mengitari mahkota bunga yang cantik sembari mendengar riuh kebun itu. Mereka berperan dengan baik sejauh ini. Seperti halnya kehidupan yang penuh dengan sandiwara.
Beruntung. Seandainya udara dapat berucap lebih jelas, mungkin ia sedang berpesan agar saling menjaga. Bukankah manusia mengkonsumsinya sebagai syarat hidup? Juga karena itu manusia terlihat makin menua.
Suatu ketika, tat kala muram menjelma sajak, debu jendela akan menuliskan tentang angin yang membawanya, juga sapu kain yang mengusapnya. Sehingga cahaya mentari dapat berlenggang masuk tanpa menyapanya kembali. Kemudian menerpa vas dan foto dalam pigora yang isyaratkan tentang keabadian. Sementara udara dan kain lap itu sering kali mengikis umur mereka. Ketika semua perbincangan ini selesai, masih adakah sapa temaram pada teduhnya senja menemani muda-mudi memadukasih? Atau menemani teh dan kopi di pelataran rumah? Seketika bangku taman menjawab, "waktu wujudnya sekedar putih belaka yang tumbuh tak terduga sekedar surih. Kematangan diperam asam garam, menafsir sengkarut hidup". Seolah hidup hanya perkara memahami satu sama lain tanpa paham akan hakikat waktu itu sendiri.
Pada sisa isak tangisnya embun merenung dan menjeda raung jeritannya. Dalam suara diam yang sering kali menggugat rasa, air mata membeningkan padang matanya. Akhirnya, ia dapat melihat cahaya yang terbiaskan hujan berupa pelangi. Warna-warna dalam pusaran tata kosmos pencipta yang menjadikan setiap pandang tiada jemu. Merakit sukma yang tercecer berserakan di dalam bilik dan kembali merasa sebagai makhluk yang tidak sekedar hidup. Alhasil, terbesit senyum syukur atas segala pilu yang tiada henti mendera. Menjelma damai dan tentram di tengah geliat kota yang terus menekan. Oh, semoga aku menerima ini sebagai kata yang kucinta, meski sukar untuk percaya karena pandangku semakin samar.
Komentar
Posting Komentar