Yang Lahir dari Kesunyian Pandemi
Tidakkah semua berasal dari sini? Keterasingan dan saling mengasingkan?
Nampaknya telah lama kita tak bersua dalam kata. Dalam setiap kalimat bebas dan abstrak. Aku merasakan setiap titik darah yang terjatuh kala setiap pena berselisih dengan kertas berisi kalimat legitimasi. Bukankah semua perandaian tentang teror dan kasus yang pernah bicarakan perlahan mulai jadi kenyataan. Ku harap kau tau itu. Beberapa hari ini, malam terasa begitu panjang. Sama halnya dengan hari. Sedangkan pagi nampak ditutupi awan mendung, sehingga tak ada sinaran bagi mereka yang tersadar lebih dini.
Apakah kamu merasakannya? Sesuatu yang tak terlihat itu lebih menakutkan. Begitulah sebut ajal yang acap kali siap menyergap. Tapi ketahuilah. Disetiap dilema selalu ada perenungan. Maka aku akan datang disela perenunganmu. Tentang hidup atau matinya suatu kaum, kita tak pernah tau. Yang kita tau adalah setiap penghianatan dari setiap sumpah, setiap pengingkaran dari setiap janji dan setiap kekecewaan dari setiap harap. Kita sudah terbiasa melewati dunia yang penuh dengan tipu muslihat. Bahkan, nampaknya kita sudah pandai menjadi penipu yang ulung, terlebih terhadap hati nurani kita sendiri.
Kita memahami prinsip dimana ruang adalah dimensi yang dapat runtuh hanya dengan beberapa isyarat mata. Bahkan beberapa hari lalu aku mendapati bahwa kesunyian telah berubah menjadi belukar di alam pikiranku, kekasihku dan beberapa teman-temanku. Aku tau, dalam pandemi ini kita menemui banyak hal. Mulai perenungan panjang tentang betapa mahalnya bertatap mata, berbincang hingga berkontak fisik yang kemarin kita anggap hanya hal remeh. Belakangan kerinduanku memuncak ketika kutemui setiap pandang disudut jalan. Mengingatkanku tentang keramaian yang sering kali melahirkan umpatan dan kebencian. Tapi, seperti kurikulum pendidikan kita, kita tak pernah mengerti cara membenci. Bahkan sekelas pejabat hingga ilmuan kebingungan tat kala menempatkan diri untuk menjadi pembenci.
Aku merasa pandemi ini bukanlah musuh yang terus menerus dikabarkan oleh media. Ini adalah wajah kebencian kita selama ini terhadap sesama. Bahkan terhadap diri kita sendiri. Maka dengan tulisan ini ku ajak kalian untuk telanjang dan mandi di sungai gangga. Melarutkan segala sifat dengki dan angkara murka. Tidak menutup kemungkinan akan tumbuh lagi, karena kita berjalan menuju kesejatian. Dan yang aku tahu, jalan itu penuh duri dan jebakan yang menyesatkan. Maka tugas kita adalah jumeneng sejenak untuk menuju cahaya dari Yang Sejati
Komentar
Posting Komentar