Pagi yang Kosong
-Tan Malaka
Pagi yang kosong beserta semua omong kosong yang tergantung di dalamnya. Setiap pagi berapa kebohongan yang terucap dari seorang pemurung yang duduk manis di depan meja sambil membayangkan kebebasan? Membayangkan kebebasan sama halnya menggenggam angin. Begitupun kebahagiaan seorang pembohong.
Kebohongan kali ini dimulai dengan tajuk kebahagiaan. Sering terdengar kata bahagia dengan wajah murung. Begitupun senyuman dikala lara. Terlalu banyak kebohongan hanya sekedar untuk diterima orang lain dan tidak membuat khawatir. Terlebih untuk mereka yang tumbuh di lingkungan penuh kecurigaan.
Beberapa orang merapal lara terus menerus. Bukankah mereka sudah cukup merasa sakit ketika terluka? Ketika luka itu setengah mengering mereka mengelupasnya dan merangrang kesakitan kembali. Semua luka perkara waktu, keabadiian hanyalah hal tabu.
Kita lahir dari rahim pemberontakan yang jauh lebih keras dari keadaan cekik menyiksa. Kita terpupuk manja oleh lembut jemari ibu hingga kita dapat melupakan segala luka yang terpapar di seluruh tubuh. Lihatlah! Ibu menangis sepanjang masa. Oh, sungguh malang.
Sementara mentari semakin tinggi, semakin banyak lagi kebohongan yang diucapkan. Terutama ketika krisis. Krisis yang paling berbahaya ialah krisis identitas yang kerapkali menghantui angan-angan muda-mudi ibu pertiwi. Mereka tak lebih dari sebuah tubuh bernyawa dan bernama. Sementara kedudukannya jauh dari ilmu hakikat hidupnya.
Kebenaran muncul tak kala semua angkara reda. Makanan sehari-hari kita ialah terperdaya kenyataan dengan lauk terjebak masa lalu. Mempelajari sesuatu yang abu-abu yang sama sekali kita tak pernah tau. Buku-buku berbagai sumber, berlembar-lembar dan berjilid-jilid menceritakan hal-hal yang berbeda. Ada yang hampir sama dan mirip, ada yang berisi kebohongan dan manipulasi.
Penulis dan peraih nobel sastra dari perancis Antole France pernah mengatakan bahwa "Buku sejarah yang tidak berisi kebohongan pastilah membosankan". Merapal semua ajaran kebohongan di sekolahan hingga mahir berbohong pada semua orang. Bukankah tidak ada takdir yang lebih mengerikan dari pada diperkosa kesadarannya?
Bersambung
Komentar
Posting Komentar