Festival Rakyat Malang Menolak Omnibuslaw
1. Masuknya Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.
2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan, yang mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan.
Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.
Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.
3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT. Meski demikian, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, namun disebutkan akan diatur dalam PP.
Catatan: aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.
4. Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP).
Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.
Selain dari sektor buruh atau tenaga kerja yang terancam, produk hukum ini juga mengancam ranah pertanian. Beradasarkan analisa dan kajian KPA, setidaknya terdapat 11 (sebelas) ancaman Omnibus Law bagi petani dan agenda reforma agraria
- Mengkhianati Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR No. IX/2001 dan UUPA 1960.
- Mendorong penggusuran dan perampasan tanah rakyat dengan menghidupkan kembali azas Domein Verklaring era kolonial;
- Memperparah konflik agraria dengan memprioritaskan pemberian tanah dan tukar guling kawasan hutan untuk kepentingan elit bisnis dan politik
- Melegitimasi praktek spekulan tanah dan menyuburkan mafia tanah lewat pembentukan Bank Tanah
- Merancang 90 tahun HGU bagi korporasi perkebunan
- Menjadikan tanah sebagai barang komoditas yang bebas diperjualbelikan dan dimonopoli oleh badan usaha swasta dan negara
- Menghapus batas maksimum luas penguasaan tanah dan sanksi bagi perusahaan yang terbukti menelantarkan tanah
- Membuka pintu kepada badan usaha asing untuk menguasai tanah di Indonesia
- Mengancam kedaulatan pangan lewat kemudahan konversi tanah pertanian dan importasi pangan
- Memenjarakan petani dan masyarakat adat yang hidup dan bertani di atas klaim kawasan hutan negara
- Menghilangkan hak dasar petani memuliahkan benih
Komentar
Posting Komentar