Sepotong Surat kepada Kekasih

Kepada kekasih, kuhaturkan sepucuk kata ini untukmu. Sebelum semua aku jelaskan tentang samudra penuh ombak, sekiranya kita perlu memahami makna terdalam dari kesunyian dan kesepian yang merongrong alam pikiran kita.

Kasihku, kita telah gagal dalam hidup menghamba pada yang sejati, ketika kita masih disibukan tentang hitungan dan angka. Kita masih gagap dalam berkaca, sementara lisan kita semudah itu menghakimi yang bukan kita.

Kasihku, dunia tidak perkara hitam dan putih. Kita tak akan mengerti jika kita memang tak tak mau mengerti. Kita hanya memahami sesuatu yang mau kita pahami, sehingga kita abai dalam mengatasi masalah yang sejatinya tidak kita inginkan.

Mungkin aku terlalu banyak menjelaskan sesuatu secara bias. Tapi lihatlah kenyataan itu, kekasih. Kita dilahirkan pada kenyataan kelabu, sementara hati kita masih keruh dengan segala hal rancu yang kita buat sendiri. 

Sebelum aku melanjutkan, apakah kamu membuatkan aku secangkir teh hangat? Aku ingin meminumnya bersamamu, kekasihku. Sebagai media penghangatkan tubuh yang terlanjur dibasahi oleh air mata kita.

Tat kala derita hidup membuat semua terasa percuma, hilang harapan dan ingin menyudahi hidup ini saja, percayalah, aku ingin melihat malaikat-malaikat kecil kita bermain di depan rumah bersama kawan-kawannya. Kemudian di waktu sore kita berjalan bersama menikmati sejuk alam perdesaan. 

Bukankah semua orang berhak bermimpi? Namun kulabuhkan mimpi-mimpi itu kepadamu, kekasih. Setelah semua yang telah kita lakukan bersama, mulai dari kita yang asing hingga kita yang saling mencintai. 

Sebagai penutup, aku hanya ingin berpesan. Kita tak akan mengerti hakikat cinta, jika pemahaman cinta hanya berhenti di pengorbanan. Kita tak akan mengerti hakikat kasih, jika kita lupa cara berterima kasih dan kita tak akan mengerti hakikat sayang, jika kita masih merawat kebencian. Maka, kuhaturkan secuil kata ini untukmu,  kasihku. Aku menyayangimu.