Bom Waktu bag 2
"Sudahlah, kau seperti habis terbentur saja"
"Kau menuduhku macam-macam"
"Habis omonganmu semakin ngelantur"
"Ini efek barang yang kau beri"
"Ya sudah, setelah ini tidurlah"
*Beranjak menuju kamar*
"Dimana kau letakan surat-surat itu?"
"Yang kau beri kemarin?"
"Yang mana lagi?"
"Di brankas"
"Memang kita punya berangkas?"
"Kita punya. Dulu kau gunakan untuk menyimpan dokumen penting dan beberapa kilogram emas"
"Kapan kita punya emas?"
"Sebelum pelipismu terbentur cukup keras dan kau tidak linglung seperti ini"
"Seingatku dulu pernah punya pistol. Sekarang dimana?"
"Polisi menyitanya setelah ia menangkapmu dalam kasus pembunuhan"
"Siapa yang kubunuh?"
"Kau benar-benar tak ingat apa-apa?"
*Menghisap marijuana*
"Aku benar-benar lupa. Terakhir yang ku ingat aku dibisiki oleh seorang yang tak asing terkait bisnis ilegal yang aku jalankan. Ia mengatakan bahwa partner kerja ku mati sadis dengan bom yang meledak di mulutnya".
"Bisnis ilegal apa yang kamu maksud?"
"Ophium"
"Mungkin kau harus banyak istirahat setelah kabur dari tahanan. Identitasmu sudah aku urus".
*Merebahkan badan ke kasur dan tidur*
Keesokan siangnya
"Aku kesiangan ya?"
*Melihat jam sudah pukul 1 siang*
"Kau mengigau tentang bom itu, kau terlalu memikirkannya"
"Aku memikirkan keadaan ekonomiku yang kian buruk"
"Memangnya kenapa segitu khawatirnya dengan bom yang ada dipikiranmu?"
"Aku hanya mengkhawatirkanmu, bagaimana jika itu meledak ketika aku di sampingmu?"
"Khawatirkan dirimu sendiri saja. Oh iya, kemarin ada kiriman paket dan tidak ada keterangannya"
"Kau terima?"
"Aku juga khawatir gara-gara omonganmu terkait bom. Soalnya ukurannya juga sedinamit yang kau ceritakan kemarin"
"Kau terima atau tidak?!"
"Tidak. Aku ikut takut. Setelah kurir meletakannya di depan rumah, aku langsung membuangnya ke tempat sampah".
"Baiklah, terdengar bagus"
"Tempat sampah tetangga yang resek itu"
*Tertawa sejenak*
"Adakah surat yang kau terima selama aku ditahan?"
"Ada, surat tagihan hutang piutang"
"Kau taruh mana?"
"Seperti yang biasa kau lakukan, membuangnya"
"Kau mulai cerdas rupanya"
"Aku hanya melakukan apa yang biasa kau lakukan"
"Apakah negara memberi uang ketika kondisi seperti ini?"
"Tidak, bantuan itu diambil mereka yang memiliki identitas"
"Oh ya sudah kalau begitu, apa yang kau masak hari ini?"
"Mie instan seperti biasa. Persediaan kita semakin menipis. Kau harus cepat mencari pekerjaan sebelum kita mati kelaparan"
"Dari mana uang yang kau gunakan untuk membeli mie instan?"
"Aku menjual emasmu setahun yang lalu untuk bertahan hidup"
"Emas kau jual?"
"Tidak ada pilihan lain. Aku juga tidak memiliki siapa-siapa"
"Bagaimana dengan bisnis obat bius?"
"Sudahlah kebanyakan tanya kau ini. Apa tidak lapar?"
"Memang ada makanan?"
"Tadi ada makanan dari tasyakuran pak RT. Sekalian mengingatkan terkait iuran RT yang nombok berbulan-bulan"
"Lha wong yang kemarin dikorupsi kok"
*Berlalu menuju dapur*
-bersambung
Komentar
Posting Komentar