Sebelum Bunga Ini Layu
Ini bunga pukul tujuh. Seperti kita yang mekar dan terkuncup di sebagian waktu. Merawat kebusukan dari lawan bicara tat kala amarah membakarmu dan melupakan semua kebaikannya bagaikan angin lalu. Pada saat itu kita terlahir sebagai pendendam yang ulung. Seperti halnya kisah-kisah peperangan di buku dongeng yang terlahir dari dendam.
Pada sebuah malam yang sunyi, kita menganga diantara bintang-bintang. Pada sebuah malam yang dingin, kita dipeluk hangatnya kenangan. Pada sebuah siang yang menyengat, kita dibakar pada realita kehidupan yang syarat akan krisis dan derita.
Akan tetapi, suatu ketika kutemui dirimu dan ketulusanmu menemui ekor mataku sembari bertutur tentang anak-anak kita yang lahir dari setiap ucapanku. Sepertinya tidak ada lagi yang diharapkan dariku, seorang yang telah lama mati terbakar amarahmu dan telah merenggut segalanya darimu.
Bukankah tutur katamu yang tajam sering kali membawaku pada realita akan pahitnya suatu hukum timbal balik semesta. Pada sebuah cahaya disudut ruang, aku bersila sembari menuliskan perenunganku tentang kehidupan yang pada akhirnya tidak akan kita menangkan. Pada akhirnya mereka yang percaya akan masa depan ialah mereka yang masih bisa dianggap muda. Disini kita kesampingan dulu angka-angka dalam benak dan sakumu. Kemudian jujur pada sebuah tangis dan air mata. Aku mencintaimu meski setiap yang kucintai pada waktunya akan pergi dan kita akan terpisahkan oleh maut yang selalu aku tantang dari setiap perjalanan. Mungkin sedikit napas akan membantumu menelaah cerita ini tapi yakinlah bahwa inti dari semua percakapan kita adalah keikhlasan menerima takdir yang telah terjadi dan mengupayakan kehidupan yang lebih baik kedepannya. Maka jadilah aku disana. Di suatu waktu yang tak mengenal ujung. Disanalah, kau akan temui jiwaku yang telah lama mati ditikam kenyataan yang palsu. Palsu.
Komentar
Posting Komentar