Ada Pistol di Kepalamu

Tolong maafkan aku. Sebuah kalimat yang tak merubah keadaan saat ini. Semua terasa kosong tat kala jari jemarimu tak lagi ada untuk ku genggam. Ketika waktu sudah tak ada gairah detiknya dan suara hujan menjelma bagai nada-nada sendu. Bisu masih menguasai setiap mulut yang menjual dirinya di sepanjang trotoar atau di meja judi. Buta masih milik setiap mata yang melihat semua menjadi kelabu, muram dan sesekali merasakan dunia perlahan melamat. Tuli masih menjadi pilihan tat kala dunia semakin ramai dengan berbagai tuntutan yang didikte oleh standar hidup di media massa. Miskin masih menyelimuti takdir yang sudah kau upayakan untuk berubah namun semua percuma.

Aku sudah melihat banyak sesuatu yang mestinya tak kulihat. Aku juga sudah mendengar berbagai macam hal yang seharusnya tidak aku dengar. Namun aku tetap diam seribu kata tat kala dogma mengangkang diselangkangan zaman sembari mengajarkan tata krama yang tidak dicontohkan oleh para senior. Para senior itu duduk congkak menghisap sebatang rokok dan meminum black label di meja judi. Hormatilah mereka yang memuaskan kemaluannya di rumah bordil sembari merekam goyangan para lonte, padahal lonte juga manusia. 

Sudah pukul setengah empat pagi, sebentar lagi mungkin tarhim berkumandang. Hal yang biasa di dengar ketika di desa, namun tarhim kali ini diwarnai dengan rasa gelisah. Banyak yang menyalahkan pola tidur sebagai awal dari kegelisahan. Padahal awal kegelisahan ialah mereka yang tak mau mengerti pada setiap yang mereka temui. Terutama darah daging mereka sendiri. 

Seorang kawan pernah berkata bahwa cara bunuh diri paling cepat ialah dengan menggunakan shotgun dan meletakan moncongnya tepat di bawah rahang. Mengarahkan tembakannya ke otak dapat cepat melumpuhkan banyak pikiran yang semakin lama semakin kalut akan kenyataan. Sebelumnya, mari bersulang untuk setiap penyesalan yang tak bisa dihindari.

Perihal pandemi tidak ada yang mengerti saat ini. Belum lagi sistem negara yang seperti ini. Seorang Sondang telah memilih jalannya membakar diri di depan istana. Mengubur dirinya bersama rasa kecewanya terhadap nasib keadilan di negeri ini. Seorang Galang overdosis ekstasi atau sabu-sabu tat kala merintis karirnya sebagai musisi. Aku tak mau membahas Kurt Cobain atau John Lenon. Selera musikku tetap absurd dengan berbagai lingkungan yang ada di sekitarku. Bahkan untuk menghafal beberapa nama aku sering kali tak mampu. Apa lagi mengingat janji.

Apakah menuju psikiater membuat semua lebih baik? Mungkin ia punya solusi agar dapat kaya mendadak selain mempermalukan diri di layar TV. Aku hanya ingin semua orang bahagia. Selamat pagi, doakan aku. Apakah Tuhan perlu berdoa? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Parade Kematian 2021

Duel Pecel Tumpang vs Pecel Lele! Fafifest Gemparkan Permusikan Kediri

Merchant PERTANIAN HARI INI sudah bisa dipesan! Take it All only 200k!!