Desember Jangan Menangis
Membuka Desember. Bulan penghujung di setiap tahun. Hujan-hujan membasahi sudut desa dan kota, bersama kenangan yang tumbuh berkembang bersamanya. Paceklik masih berkepanjangan disetiap jiwa-jiwa yang diisi oleh kekosongan. Menuju pagi pertama, sebelum akhirnya terbesit keinginan untuk menulis dan memilih untuk tetap terjaga hingga hadir di suatu malam tanpa kata, tanpa penjelasan, hanya berhias tatap kosong dan air mata kepasrahan.
Mengaisi kembali kenangan dan luka serta canda tawa semu yang menghiasi kehidupan. Jika mencari neraka, inilah yang kau cari. Sebuah jalan panjang penuh kehampaan dan kebimbangan, tanpa siapa-siapa, hanya aku dan diriku yang mengerti.
Pertanyaan pertama muncul dari sekuntum entah dan menyebar bagai spora pada setiap alam bayang. "Akankah hari-hari akan terus seperti ini? Menjadi miskin dengan segala fasilitas yang ada? Menjadi sepi di setiap keramaian yang ada? Cita-cita? Masihkah ada? Harapan?".
Kemudian di setiap gang menuju ujung cakrawala jingga warna-warni sesosok bayang datang membentangkan sayap sembari memberi isyarat bahwa inilah waktunya. Sembari menitihkan air mata, tunggang langgang berjalan meraih setiap apa yang bisa menolong untuk mencapai kesana. "Peluklah aku, wahai jiwa yang kosong tak berisi, tak bersepatu, tak tersisa, tak ada artinya". Pelukan itu tiba-tiba tercipta bersamaan dengan hilangnya semua ketakutan, kepalsuan dan kebuntuan. Menjadi penawar sementara gelisah berkepanjangan. Menjadi mata air di gurun jiwa yang gersang.
"Aku bersamamu, wahai orang-orang malam. Peluklah aku sepanjang hayat hingga pada akhirnya kau mengerti bahwa bukan aku yang engkau cari". Menuju hujan di sore hari dan membiarkan setiap tetes asamnya membuat setiap luka-luka itu meradang. Hingga pada akhirnya kau sudah benar-benar ditelanjangi oleh keadaan dan benar-benar tidak memiliki apa-apa, termasuk kesadaran.
Komentar
Posting Komentar