Hujan Masih Air, Belum Darah!
Seperti hari yang panjang, dilalui dengan pahitnya kehidupan. Tawa canda yang nyatanya palsu adanya atau sedih susah yang nyatanya tak seberapa.
Sebuah kopi untuk melarung kemalasan atau rasa enggan untuk duduk berdua. Tidak menutup kemungkinan akan ada kawan yang datang dan ikut duduk bersama. Janganlah risau atau terganggu karena realita kehidupan cukup mengganggu fantasi kita tentang kehidupan yang lebih baik.
Untuk tuan puan kisanak yang duduk jauh di seberang. Untuk setiap mulut yang tak memiliki keinginan untuk berucap tat kala seorang insan duduk menangis di sebelah jembatan yang memisahkan kota kita. Sedangkan para tukang becak tidur terlelap diantara kota kecil yang semakin gemerlap.
Sebuah tatapan kosong datang di suatu malam bulan tujuh belas. Mencari kursi dan berbincang bersama teman. Perbincangan selepas hujan segera dimulai. Alasan keterlambatan menjadi prolog dari sebuah diskusi berkepanjangan. "Hujan masih air, belum darah", sahut seorang ketika mendengar alasan tersebut seolah alasan itu tak dipedulikannya. Sementara yang terbesit saat itu pula tinggalah hujan di matamu, kekasih. Seolah kumolonimbus datang dengan gelap dan suramnya.
Kepada setiap nama yang terucap hasil eksistensi buah pikir remaja sekarang, aku tak mau banyak mendistraksi pikiran mereka yang liar. Biarlah seperti itu, biarlah darah muda tetaplah menjadi darah yang berapi-api. Toh, bukan urusanku mengurusi moral setiap orang di depanku sementara tidak ada kata selesai untuk sebuah urusan pribadi.
Jaman berubah, teknologi semakin maju dan kata-kata berhamburan tanpa makna. Aturan-aturan tentang siulan burung perkutut silang sengketa dengan siulan burung kenari. Sementara, cuitan-cuitan di dunia maya lebih berbahaya ketimbang lidah keseleo para birokrat yang katanya pemimpin negeri.
Jangan ribut, dunia butuh ketenangan. Microcosmos dalam dirimu rancu dengan apa yang kamu kerjakan saat ini. Sampai pada akhirnya semua tidak akan selesai jika yang dimasalahkan adalah waktu. Waktu selalu ada menunggu, tapi akselerasi gejolak ego dirimu mengacuhkannya berkali-kali. Mungkin itu jawaban dari segala risau yang membuat beberapa oknum menyebut dirinya seorang yang terpelajar. Tapi, mari buktikan setiap omong kosong itu dengan kekosongan omongan yang lain. Karena semua hari tidak ada baiknya jikalau setiap yang buruk masih relevan untuk terjadi.
Maka pada sebuah prosa, ijinkan aku berdansa denganmu diiringi sebuah lagu dari orkes kesayangan kita. Sembari menitihkan air mata kesedihan dan kebahagiaan yang membuatnya menjadi ironi keseimbangan. Ha-ha-ha
Komentar
Posting Komentar