Kematian Jiwa
Daun-daun itu berguguran. Meranggas diantara paceklik krisis berkepanjangan. Satu persatu gugur ke tanah atau terbang kalang kabutan ditiup angin. Sementara musim tak kunjung berganti dan harap cemas meminta musim semi segera kembali. Pohon itu berdaunkan harapan, cita dan mimpi setiap remaja yang bercita-cita menjadi hidup diantara kematian yang tak banyak dikabarkan. Kematian jiwa.
Begitu banyak harapan terkumpul di langit, sehingga yang sering kali jatuh bukanlah air yang menyegarkan namun pupus harapan yang lumrah terdengar di telinga anak-anak usia belia. Sebagian mereka mati tertindih kejamnya realita hidup yang mengharuskannya dikubur hidup-hidup untuk menghidupi pohon yang hampir mati. Sebagian mereka bertahan bersama sekawanan kunang-kunang yang berikan redup terang indah meski itu hanya sesaat. Pukul telah menandakan mentari mulai tampakan sinar dan mereka terbangun dari mimpi. Tanpa ampun, terangnya menyilaukan mata-mata muda belia dengan jutaan mimpi yang di jual artis metropolitan.
Mata tak sanggup menahan dan jadilah mereka buta karena kekeringan ini. Orang terbayang tentang nikmat surga dan siksa neraka, namun nampaknya derita dunia tinggalkan luka,luka dan luka. Hingga sampai pada akhir di penghujung waktu. Napas terakhir hanya berisi maaf pada pemberi kehidupan bahwa masih mati dalam keadaan semenyedihkan ini. Melawatinya bersama kesendirian. Tanpa orang-orang yang dahulu masih memiliki empati dan kasih sayang. Melewatinya dengan jutaan kepedihan lain setelah merajut jutaan kepedihan di dunia. Inilah yang paling menyedihkan dari sebuah kehidupan tanpa jiwa.
Komentar
Posting Komentar