Anda Sudah Dikepung
Angin yang berhembus, sungai yang mengalir dan hari yang berlalu. Lalu lalang melintas sosok bayang dalam keramaian. Pada sepersekian detik terpejam dan mengingat setiap perkataan yang ia katakan. "Anda sudah dikepung, menyerahlah dalam jurang keniscayaan", lirih terdengar di sepersekian detik berikutnya.
Ya, untuk sebuah rencana kegagalan merupakan hal yang biasa. Bukan disebabkan oleh ketidak-becusan dalam menyusun rencana terperinci dan terukur, tetapi ketidak-mampuan manusia dalam mengatur musim. Seperti yang ku katakan di jumpa terakhir kita. "Kita adalah sepasang daun jatuh yang kemudian jatuh ke sungai dan pasrah mengikuti alirannya, menunggu menjadi humus yang subur.
Pada sepersekian abad lampau, suara bibir bertemu bibir yang menyebabkannya saling membasahi, suara gemuruh genderang yang seketika hening ketika mendengar berita kematian sang raja dan suara yang mempertanyakan nasib sebuah gelombang yang dibawanya. Kemudian, muncul bayangan yang sama. "Anda sudah dikepung, menyerahlah dalam jurang keniscayaan".
Laju sepeda berselisih dengan langkah kaki dan deru gerobak kaki lima dengan segala harapan di matanya. Samudera yang menjadi tolak ukur peradaban, yang dengan badainya zaman bisa berbalik secepat pembunganan infrastruktur era modern (meski korup).
Tatap sepasang mata yang bertemu dengan sepasang yang lain sepersekian detik membawa hening yang riuh dalam merah muda abu-abunya di sebuah jingga yang menganga. Membuang muka, mengalihkan fokus hingga upaya keluar dari hitam pusat mata itu sama halnya memberi garam di lautan. Satu lagi kesia-siaan yang dijalani.
Sebagaimana dikabarkan, bahwa drama televisi kalah pamor dengan drama kenyataan yang tiada akhirnya diperbincangkan di khalayak. Untuk itu, untuk mewujudkan keberlangsungan hidup yang jelas tidak mungkin untuk disesali setiap langkahnya, orang-orang beramai-ramai berkhayal tentang keindahan fantasi untuk memenuhi konaknya setiap detik, setiap waktu. Orang berkata, siapa peduli nasibmu? Bukankah setiap harta menjadikanmu buta? Setiap nasi menjadikanmu kantuk? Setiap napas membuatmu mati?
Maka, untuk semua hal yang kita bicarakan di setiap ruang jam, menit dan detiknya, turutilah kemalasanmu. Keluarlah jika perlu. Sewajarnya saja. Semua ini bukan perihal siapa yang terlibat dalam kasus pembunuhan karakter jati diri bangsa. Sementara kesejatian hanya omong kosong orang tua yang kolot dengan hitungan wetonnya yang bebal. Tapi, kita semua manusia. Tercipta dari sebuah tekanan yang menjadikannya mau tak mau menerima nasib dilahirkan di dunia. Jika kita bertemu, kuharap engkau menemukan setiap jawabmu terlebih dahulu, jangan usik sebuah lamunan kekosongan masa depan dan upaya masturbasi khayalan untuk memuaskan ego atas nama selera.
Lagi-lagi semua kembali pada kenyataan bahwa kita dilahirkan di dunia yang hanya berputar menanti ujung waktu habis rotasinya. Tak perlu berdoa, cukup sedikit mengumpat pada perasaan yang jelas tak siapapun mendengar perkataanmu kecuali dirimu dan kemalanganmu. Mungkin bisa disambung lain waktu, kita bertemu dengan cerita yang baru.
Komentar
Posting Komentar