Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018

Malam Kelam

Gambar
Mentari terbenam Rembulan berlayar Gemerlap bintang Remang cahaya lentera Gelap tat kala tersesat Samar terlihat bayang Jelmaan bidadari kayangan Merasuk rasa dalam dada Ingin hati untuk bersua Namun apalah daya Hamba hanyalah binatang Terhina di ujung belantara Menjelma makhluk buruk rupa Terbuang dari gemerlap dunia Menghamba pada rasa Tak lebih timbulkan kecewa Kala tiada merengkuh raganya Hanya sekedar angan Harap memeluk tubuhnya Tak lebih sisakan lara Serupa rindu tak jumpa Menjadi sesal mengakar Hujan air mata Terperangah diri tersadar Hamba bukan siapa-siapa

Maha Benar Akun Anonim dengan Segala Statementnya

Gambar
Keresahan tentang akun anonim bukan perkara kebebasan berpendapat. Tapi perkara gagasan yang tidak sanggup bertatap langsung. Bukan membuktikan siapa yang paling kuat. Karena kebenaran mesti dimurnikan. Ini yang menjadi awal tersebarnya hoax sekiranya. Dimulai saya masuk ke universitas, mulai banyak berita lalang melintang terkait isu kampus. Sebagai mahasiswa baru saya tertarik dan menyusuri berbagai akun. Akun line misalnya dengan berbagai nama yang lucu-lucu dan menggelitik. Kiranya hal ini menjadi awal penggiringan opini untuk suatu tujuan tertentu. Karena saya rasa subjektifitasnya tinggi. Meski memang diakui mereka membawa data A B C dan D dari berbagai macam media. Tapi itu bukan perkara kebenaran risetnya. Saya akui riset-riset yang dilakukan mereka tidak buruk dan mengacu pada sumber yang sekiranya bisa dipegang. Tapi perkara personal yang bersembunyi menikmati drama yang terjadi. Seperti kata orang, kampus adalah sebuah miniatur negara. Dimana banyak orang-orang hebat lahir d...

Manusia Lupa

Kemilau cahaya puncak Bangga berdiri disana Bersorak sorai kesenangan Lupa diri lupa segala Yang ada hanya kesombongan Merasa paling wah Memiliki kuasa Berkehendak atas segala Hingga ia tinggal nama Tergulung ombak Terlahap api Tertimbun tanah Saat itu ia baru sadar Ia tak lebih dari segumpal darah Yang tak berdaya Ia lupa ibu bumi Ia lupa Yang Maha Kuasa Termakan hawa nafsunya Termakan ketamakannya

Melihat Laron, Melihat Indonesiaku

Gambar
Laron adalah rayap yang telah bersayap dan keluar dimusim hujan untuk mencari pasangan hidup guna melahirkan rayap-rayap generasi penerus mereka. Yang unik laron-laron beterbangan mencari cahaya lampu-lampu malam dan cenderung memilih cahaya lampu yang paling terang diantara lampu-lampu. Cahaya ada dua makna cahaya sebagai bentuk Nurillah (cahaya kebenaran Tuhan) dan juga cahaya sebagai bentuk kekuasaan. Laron-laron senantiasa mencari cahaya terang bila ada yang lebih terang lagi laron akan berpindah kecahaya tersebut. Kenekatan keberanian dalam mendekati cahaya lampu tersebut derasnya hujan hingga kematian mengancam dirinya laron-laron tetap maju hingga dapat menggapai cahaya paling terang. Namun ketika telah mencapai cahaya paling terang tersebut, laron-laron berjatuhan dan sayapnya rontok, berjalan kembali kekubangan tanah liat untuk melahirkan generasi penerusnya,dan tidak ternbang lagi menggapai cahaya tersebut karena dia menyadari dirinya tak kuat dan tak bersayap lagi. Ada dua h...

Anak-anak kita

Malam ini Kulihat anak-anak kita berlari Menuju hutan dan belukar di luar sana Menggedor batas-batas Memaksa untuk keluar Kita sebagai orang tua hanya bisa pasrah Karena kita menyusuri fase dan mengerti akan waktunya Tapi apakah anak-anak itu tahu? Siapa anak-anak itu? Ia adalah anak-anak yang lahir dari kesalahan kita Ia bernama rindu Ia menuntut temu Dan kita masih tunduk oleh jarak

Perindu

Secawan rindu yang terbalut duka Menanti temu pada jarak tak berujung Perihal aku juga kamu Yang tak lagi senada beriringan Angin meniti sela tubuhku Hening bekukan rasa yang berkecamuk Sementara bara akan terus terbakar Dalam diri yang terebah tak berdaya Berpangku dagu memulai renung Kapan rindu ini akan berujung temu? Entah

11 Jam Tidak Bertemu

Badai telah berlalu Puing-puing memenuhi jalan Banjir mulai surut Sisakan malam yang basah Ketika hujan aku berada di jendela Duduk menggigil tersapu angin Terbangkan sukma yang dambakan hadirnya usai Perpisahan bahagia Kesunyian berbisik Ucapkan mantra-mantra Sebagiannya juga petuah Menyelami lara Menjernihkan rasa Hingga menemukan diri sejati Sebentar lagi pagi datang Kokok ayam bangunkan cakrawala Menghadikan hangat Mengeringkan raga yang jenuh dengan basah Jika hidup adalah perihal lara Maka aku rela Asal bersamamu Obat dari segala lara Aku mendamba temu, manisku

Larung

Melarung sunyi di gelap malam Kembali memungut kata-kata Mencium aroma pohon-pohon basah Terkena embun kabut di kala malam Kata-kata itu berubah menjadi bisik Bisik perlahan berubah menjadi sunyi Tempat kejernihan bermuara Letakku memikirkan pertanyaan kehidupan Sementara suara jangkrik ikut mengerik Di samping siara mesin otak yang kian menderu Berubah, aku mendengar suara dengung Ia menusuk-nusuk telingaku Meminta untuk dimengerti Bukan hanya sekedar didengar Itu adalah kejujuran hati nurani Tempat dirimu kelak akan mendengarkan suara itu Keluh kesahmu akan dilarung bersama sunyi Pandangan kabur indah kembali

Pulang

Haruskah aku pulang, kekasih? Sementara belaimu masih membekas Aromamu masih menancap Lirih suaramu masih terngiang Mana bisa aku pulang jika begini? Sementara aku bingung membaca peta Ke arah mana harus aku pulang Apakah istana itu rumahku? Yang berhias kemewahan dunia Namun tak ada dirimu disana Apakah sekeras ini? Ketika menelusuri kata Tak ada lagi yang gambarkan rasa Semua kata mereduksi rasa Dan aku semakin keras Kau tau, Jika bersamamu adalah sebuah kesalahan Maka bersamamu adalah kesalahan terindah dalam hidupku Dan aku bahagia mengakui kesalahan itu Maka, Izinkanlah aku menetap lebih lama disini, kekasih Sebelum aku memaknai arti rumah sesungguhnya

MAHLIGAI KASIH

Dan kita terlarut bersama desiran bayu sementara rindu terhempas gelombang yang jeram di samudera biru.. Biarkan langit teduhi segala hampa dan semesta mengaltari segala langkah rasa Di garis cakrawalamu ku mengitari waktu di mana khatulistiwa rindu mengapit rasa di bumi hatiku Ku menjadi hujan bahkan ku menjadi terik seketika senandung senja merenjana pilu di sebait akhir puisi bisu Di belantara mata cinta api membaur kilau debu menjadi intan permata Di mahligai mu ku menyaksi keemasan yang terlahir kasih dari aksara langit hati Di tubuh mu ku menjadi telaga yang menggumpal di istana pasir dan kembali ku menjadi gurun dalam hembusan panas angin rindumu.. Sementara waktu biarkan tertidur pulas dalam lena yang panjang..

Tanpa Tirai

Tanpa tirai Aku menatap penuh tanya Tuhan, bolehkah hari ini tak tidur ? Persimpangan malam Di sana kami akan bersua Akan ada banyak agenda rapat yang keliru Kalau boleh, janganlah menukarnya dengan berita-berita pasif Aku baru menyadarinya Sekiranya dua atau empat lima detik berlalu Ternyata dia pandai mainkan irama kelam Akan kami bacakan berdua Puisi tentang embun dan jelaga Lalu akan kulagukan diam Kidung yang kurangkai bersamamu Oh syahdunya… Boleh kita bicara ?

Tumbuh

Tumbuh Bertumbuh Tumbuh dalam tubuh Bertumbuh terhimpit butuh Hidup dalam keadaan runtuh Menanti hadir bayang impian utuh Seperti rindu yang tergupuh Bertumbuh terhimpit butuh Tumbuh dalam tubuh Bertumbuh Tumbuh

Terhujam

Waktu berlalu begitu saja Sebagianya terdengar nyaring di telinga Yang lainnya diam tanpa kata Mungkin mereka tahu banyak hal Atau mereka tak tahu apa-apa Insan lemah diantara jejalan problema Sehingga waktu serasa menusuk Derita nampak serupa siksa yang nyata

Gerimis di Hitam Bola Matamu

Ilalang bergoyang diterpa angin Bulan merekah sinarnya terangi malam Bayang itu muncul di sebagian waktu Seperti beri tanda Bahwa musim rindu telah dimulai Puisi - puisi akan berhembus Kata-kata akan menjadi udara Sementara suara berteman dengan sepi Menyimpan sebuah rahasia Percayalah Suatu saat aku akan menghilang Entah dilahap sang waktu Atau lenyap ditelan peradaban Kata-kata itupun juga akan menguap Mengisi ruang-ruang kosong Hadir mengisi rasa yang haus Menceritakan lara pada gerimismu Terkait pada biduk di tepi telaga Melarung kesedihan Menyemai kebahagiaan

Sajak Usik

Sajak-sajak sedih menguap Mengisi relung-relung Mengisi rongga-rongga Memenuhi belantika sebelanga Pertanyaan-pertanyaan menuntut jawab Kata-kata bersambung menuntut balas Kasih diumbar seperti dagangan Seakan semua bisa memilikinya Oh, mengapa Anak-anak kecil mendengar dongeng Dongeng-dongeng menceritakan kejayaan Orang-orang membaca kisah Kisah-kisah ceritakan kesenduan Malam gelap pun tiba Mereka menuju liang-liangnya Merebahkan badan Menanti pagi tiba Menyongsong hari baru Tiada kado seindah sambutnya Tiada berkah sesejuk alunannya Dan semua akan bertanya-tanya Apa gerangan yang membuatku bahagia? Kalut serupa seember belut Berisik serupa desir pasir berbisik Kelabu serupa tingkah lakumu Sendu serupa bait-bait sajakmu Aku menunggu hari-hari tanpa tapi Hari menunggu hadirnya jeda Jeda menunggu hadirnya kata Kata menunggu hadirnya balas Mulut-mulut menganga Jerit lapar memenuhi lembah belantara Musik minor bernada tenor Hari-hari berjalan mengisi detik penuh misteri

Sajak Rindu

Gambar
Engkau merindukan laut Dimana tiada sekat sejauh mata memandang Kau bisa melihat ujung Hingga tak sanggup matamu memandang Engkau merindukan senja Dimana temaram sinarnya warnai dunia Kau bisa melihat jingganya Hingga tumbuh sadar dalam dirimu Engkau merindukan puncak Dimana tiada hal yang lebih tinggi darimu Kau bisa melihat jauh Hingga dingin menyelimuti kekakuanmu Engkau merindukan bayang Dimana adanya ialah syarat dari cahaya Kau bisa mengajaknya bermain Hingga cahaya itu redup dan sirnakannya Engkau merindukan masa Dimana kenangan indah tersemai di atasnya Kau bisa mengingatnya Hingga peluh dan tawa kecil itu memancar Kita hanyasebatas rindu Yang diberkahi sang kuasa Terpisahkan jarak dan waktu Tetap satu dalam hati yang merindu

Merah Malam Kota Memerah

Di malam ini Apakah kau dengar suara itu? Suara yang kembali hadir Ingatkah kembali akan arti sebuah perjuangan Malam ini langit sejenak memerah Kucur darah dan deru peluru penuhi kota Surabaya Dentum ledak, pekat asap, semua terbakar Mengalir mereka bermuara pada kemerdekaan Hal-hal ini terjadi Bukan sekedar karangan fiksi Kini kita hanya tinggal renungi Apa yang telah kita lalui di kemerdekaan ini Tanah ini memerah Darah meresap ke sela-selanya Bau anyir penuhi seluruh kota Keringat menetes bersama air mata Kita sudah merdeka, bung! Walau masih banyak orang yang lapar Walau masih banyak orang yang tergusur dan dirampas Walau masih banyak kewajiban dan hak yang dikhianati Kita sudah merdeka, bung! Walau belum seratus persen Banyak hutang darah yang mesti dibayar Banyak korban yanh harus dilunasi Kita mesti beranjak Turun dari kasur-kasur Berdiri dari kursi-kursi Bergerak dari diam dan kosong Mengisi hari dengan karya Tuk sadarkan Tuk hidupkan Tuk banggakan

Pecahan Gelas

Gambar
Gelas Pecah Pecahan gelas itu sungguh mengerikan di sudut dapur merindukan darah. Sementara laki dan perempuan yang kawin atas nama angin telah saling membelakangi. Pecahan gelas itu mengutuk kenyataan hidup cinta yang cuma dipajang di lemari kaca. Telah berdebu Lantai pun tak lagi sudi meditasi, mendoakan ranjang agar tetap sabar tak mengamuk Tuhan, pecahan gelas itu menyerang mata kehidupan seperti kemiskinan yang tiba-tiba liar di jalan-jalan Sedangkan laki dan perempuan itu menjelma ular yang melingkarkan rasa kecut. Anak-anak pun harus rela menjadi tiang-tiang kurus menatap masa depannya yang cemas

Dirimu

Gambar
Dirimu Tumbuh subur rindu di ladangmu Dengan bayang pantul dari titik hitam bola matamu Menjelma tenang dalam sayup tatapmu Semakin gundah tat kala lengkung senyum hiasi wajahmu Sementara waktu terus beradu dengan rindu Yang terus bertumbuh menantang langit egomu -kutulis pada buku rumusmu dan akau tak pernah menuntut untuk dipahami

Dewi Mimpi

Gambar
Melangkah daku Menuju bangku taman kosong Dibawah langit senja Jingga tentram Bersama dirimu dalam pelukan Wahai dikau dewi dalam mimpi Siapa gerangan dirimu Mungkin hanya khayalan belaka Atau hanya jelmaan setan yang bersembunyi Atau bidadari yang turun dari khayangan Tunggulah sejenak Biar aku menikmati indah dirimu Manis ucap kata dari bibirmu Lemah gemulai kala kau menari Peluk aku bidadariku Jadilah bunga tidurku Yang senantiasa menemani dikala lelap